Generasi awal penolak syari'at Islam di
Jawa telah dipelopori oleh Darmogandul dan Gatoloco.
Gatoloco menolak syari'at dengan qiyas/ analog yang dibuat-buat sebagai
berikut:
"Santri berkata: Engkau makan babi. Asal doyan saja engkau makan,
(engkau) tidak takut durhaka.
Gatoloco berkata: Itu betul, memang seperti yang engkau katakan, walaupun
daging anjing, ketika dibawa kepadaku, aku selidiki. Itu daging anjing baik.
Bukan anjing curian.
Anjing itu kupelihara dari semenjak kecil. Siapa yang dapat mengadukan aku?
Daging anjing lebih halal dari daging kambing kecil. Walaupun daging kambing
kalau kambing curian, adalah lebih haram. Walaupun daging anjing, babi atau
rusa kalau dibeli adalah lebih suci dan lebih halal.
Itulah penolakan syari'ah dengan qiyas/ analogi yang sekenanya, yang bisa
bermakna mengandung tuduhan. Untuk menolak hukum haramnya babi, lalu dibikin
analog: Babi dan anjing yang dibeli lebih halal dan lebih suci dibanding
kambing hasil mencuri.
Ungkapan Gatoloco yang menolak syari'at Islam berupa haramnya babi itu bukan
sekadar menolak, tetapi disertai tuduhan, seakan hukum Islam atau orang Islam
itu menghalalkan mencuri kambing. Sindiran seperti itu sebenarnya baru kena,
apabila ditujukan kepada orang yang mengaku tokoh Islam namun mencuri kambing
seperti Imam bahkan pendiri LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia)
yakni Nur Hasan Ubaidah. Karena dia memang pernah mencuri kambing ketika di
Makkah hingga diuber polisi, dan kambingnya disembunyikan di kolong tempat
tidur. Tetapi zaman Gatoloco tentunya belum ada aliran Nur Hasan Ubaidah itu.
Jadi Gatoloco itu (sebagaimana ditiru oleh penolak syari'ah Islam belakangan)
telah melakukan dua hal:
1. Menolak syari'at Islam
2. Menuduh umat Islam sekenanya.
Penolakan syari'at Islam disertai tuduhan ada yang lebih drastis lagi, yaitu
yang dilakukan oleh Darmogandul. Mari kita simak kecaman dan tuduhan
Darmogandul terhadap Umat Islam berikut ini:
"Semua makanan dicela, umpamanya: masakan cacing, dendeng kucing,
pindang kera, opor monyet, masakan ular sawah, sate rase (seperti luwak),
masakan anak anjing, panggang babi atau babi rusa, kodok dan tikus goreng.
Makanan lintah yang belum dimasak, makanan usus anjing kebiri, kare kucing
besar, bestik gembluk (babi hutan) semua itu dikatakan haram. Lebih-lebih
jika mereka melihat anjing, mereka pura-pura dirinya terlalu bersih.
Saya mengira, hal yang menyebabkan santri sangat benci kepada anjing, tidak
sudi memegang badannya atau makan dagingnya, adalah karena ia suka bersetubuh
dengan anjing di waktu malam. Baginya ini adalah halal walaupun dengan tidak
pakai nikah. Inilah sebabnya mereka tak mau makan dagingnya."
Ungkapan Darmogandul yang menuduh umat Islam sampai sedrastis itu, sebenarnya
intinya sama juga.
1. Menolak syari'at Islam.
2. Menuduh secara semaunya terhadap umat Islam ataupun syari'atnya
Jadi sebenarnya polanya sama, antara penolak syari'at model lama dan model
baru. Intinya ya dua perkara itu. Hanya saja kalau penolak syari'at Islam
model baru, pakai putar-putar sana
sini, lalu tuduhannya pun dicanggih-canggihkan. Diberondongkanlah
ungkapan-ungkapan negatif terhadap umat Islam, bahkan syari'at Islam. Maka
diluncurkanlah kepada umat Islam, kata-kata: inferiority complex, fikihisme,
legalisme, pikiran apologetis sampai pada ungkapan fikih telah kehilangan
relevansinya.
Sebenarnya Darmogandul dan Gatoloco pun telah mencari-cari perkataan yang
secanggih-canggihnya untuk menuduh Umat Islam dan Syari'at Islam. Jadi
ungkapan Inferiority complex yang dilontarkan orang sekarang, itu sebenarnya
nilainya ya sama saja dengan ungkapan dendeng kucing, pindang kera, opor
monyet yang dilontarkan orang masa lalu yaitu Darmogandul dan Gatoloco.
Masih ada satu ciri yang sama, yaitu mengembalikan istilah kepada pemaknaan
secara bahasa, tetapi semaunya dan tidak sesuai dengan Islam.
Darmogandul mengatakan:
" … bangsa Islam, jika diperlakukan dengan baik, mereka membalas jahat.
Ini adalah sesuai dengan zikir mereka. Mereka menyebut nama Allah, memang Ala (jahat) hati orang
Islam. Mereka halus dalam lahirnya saja, dalam hakekatnya mereka itu merasa
pahit dan masin.
Adapun orang yang menyebut nama Muhammad, Rasulullah, nabi terakhir, ia
sesungguhnya melakukan zikir salah. Muhammad artinya Makam atau kubur, Ra su
lu lah, artinya rasa yang salah. Oleh karena itu ia itu orang gila, pagi sore
berteriak-teriak, dada ditekan dengan tangannya, berbisik-bisik, kepala
ditaruh di tanah berkali-kali."
Di situ lafal "Allah" oleh Darmogandul diartikan Ala yaitu jahat. Lalu lafal
"Muhammad" diartikan "makam" atau kuburan. Dan lafal
"Rasulullah" diartikan "rasa yang salah". Lalu
Darmogandul menuduh orang Islam sebagai orang gila, waktu pagi dan sore
mereka adzan maka dibilang berteriak-teriak; sedang ketika Muslimin
menjalankan shalat maka dia anggap bersedekap itu menekan dada, membaca
bacaan shalat itu dia anggap bisik-nisik, sedang sujud dia anggap kepala ditaruh
di tanah berkali-kali.
Demikianlah ungkapan Darmogandul. Sebenarnya banyak kata-kata dari ayat
Al-Qur'an ataupun istilah Islam yang oleh Darmogandul diartikan dengan
arti-arti jorok sekitar hubungan badan lelaki perempuan. Tetapi tidak usah
kami kutip di sini.
Berikut ini model yang sama dari ungkapan Gatoloco:
"Baitullah, baitu artinya baito (perahu), jadi perahu buatan Allah,
dalam perahu ada samodranya. Adapun Baitullah yang ada di Mekkah telah
dibikin oleh Nabi Ibrahim.
Pikirlah, baik mana kiblat bikinan manusia atau kiblat bikinan Tuhan, yakni
badanku ini. Kiblatmu di Mekkah hanya buatan Nabi."
Gatoloco mengartikan lafal "Baitullah" (Ka'bah) dengan
"baito" yaitu perahu. Tetapi susunan pemaknaan itu tidak kosnisten,
sehingga Gatoloco beralih kilah, tidak jadi pakai penerjemahan lewat bahasa,
tetapi pilih pakai klaim, bahwa kiblat di Makkah itu bikinan manusia, Nabi
Ibrahim. Sedang kiblat Gatoloco adalah badannya yang dibikin oleh Tuhan.
Lantas Gatoloco dalam menolak Syari'at Islam menyuruh orang Islam berpikir,
lebih baik yang mana: kiblat bikinan manusia ataukah yang bikinan Tuhan.
Maksud Gatoloco, mengartikan Baitullah dengan Ka'bah di Makkah itu salah.
Yang benar, Baitullah itu adalah baito Allah, (perahu bikinan Allah) yaitu
badan manusia. Sehingga orang yang berkiblat ke Ka'bah di Makkah itu
disalahkan oleh Gatoloco dengan cara mengalihkan arti secara bahasa. Dan
penyalahan arti itu kemudian diplesetkan ke arah yang sangat jorok-jorok,
tentang hubungan badan lelaki-perempuan, tapi tidak usah saya kutip di sini.
Darmogandul dan Gatoloco itu menempuh jalan: Mengembalikan istilah kepada
bahasa, kemudian bahasa itu diberi makna semaunya, lalu dari makna bikinannya
itu dijadikan hujjah/ argument untuk menolak syari'at Islam.
Coba kita bandingkan dengan yang ditempuh oleh Nurcholish Madjid: Islam
dikembalikan kepada al-Din, kemudian dia beri makna semau dia yaitu hanyalah
agama (tidak punya urusan dengan kehidupan dunia, bernegara), lalu dari
pemaknaan yang semaunya itu untuk menolak diterapkannya syari'at Islam dalam
kehidupan.
Sama bukan?
Kalau dicari bedanya, maka Darmogandul dan Gatoloco menolak syari'at Islam
itu untuk mempertahankan Kebatinannya, sedang Nurcholish Madjid menolak
syari'at Islam itu untuk mempertahankan dan memasarkan Islam Liberal dan
faham Pluralismenya. Dan perbedaan lainnya, Darmogandul dan Gatoloco adalah
orang bukan Islam, sedang Nurcholish Madjid adalah orang Islam yang belajar
Islam di antaranya di perguruan tinggi Amerika, Chicago, kemudian mengajar
pula di perguruan tinggi Islam negeri di Indonesia. Hanya saja cara-cara
menolak Syari'at Islam adalah sama, hanya beda ungkapan-ungkapannya, tapi
caranya sama.
Meskipun akar masalahnya sudah bisa dilacak, namun masih ada hal-hal yang
perlu ditanggapi sebagaimana berikut ini.
Kutipan:
"…sudah jelas, bahwa fikih itu, meskipun telah ditangani oleh kaum
reformis, sudah kehilangan relevansinya dengan pola kehidupan zaman sekarang.
Sedangkan perubahan secara total, agar sesuai dengan pola kehidupan modern,
memerlukan pengetahuan yang menyeluruh tentang kehidupan modern dalam segala
aspeknya, sehingga tidak hanya menjadi kompetensi dan kepentingan umat Islam
saja, melainkan juga orang-orang lain. Maka, hasilnya pun tidak perlu hanya
merupakan hukum Islam, melainkan hukum yang meliputi semua orang, untuk
mengatur kehidupan bersama." (Artikel Nurcholish Madjid).
Tanggapan:
Kalau Gatoloco menolak syari'at dengan cara mengkambing hitamkan kambing
curian, maka sekarang generasi Islam Liberal menolak syari'ah dengan
meganggap fiqh sudah kehilangan relevansinya. Sebenarnya, sekali lagi, sama
saja dengan Gatoloco dan Darmogandul itu tadi.
Tuduhan bahwa fiqh telah kehilangan relevansinya, itu adalah satu
pengingkaran yang sejati.
Dalam kenyataan hidup ini, di masyarakat Islam, baik pemerintahnya memakai
hukum Islam (sebut saja hukum fiqh, karena memang hukum praktek dalam Islam
itu tercakup dalam fiqh) maupun tidak, hukum fiqh tetap berlaku dan relevan.
Bagaimana umat Islam bisa berwudhu, sholat, zakat, puasa, nikah, mendapat
bagian waris, mengetahui yang halal dan yang haram; kalau dia anggap bahwa
fiqh sudah kehilangan relevansinya? Hatta di zaman modern sekarang ini pun,
manusia yang mengaku dirinya Muslim wajib menjaga dirinya dari hal-hal yang
haram. Untuk itu dia wajib mengetahui mana saja yang haram. Dan itu
perinciannya ada di dalam ilmu fiqh.
Seorang ahli tafsir, Muhammad Ali As-Shobuni yang jelas-jelas menulis kitab
Tafsir Ayat-ayat Hukum, Rowaai'ul Bayan, yang dia itu membahas hukum langsung
dari Al-Qur'an saja masih menyarankan agar para pembaca merujuk kepada
kitab-kitab fiqh untuk mendapatkan pengetahuan lebih luas lagi. Tidak cukup
hanya dari tafsir ayat ahkam itu.
Kalau mau mengingkari Islam yang jangkauannya mengurusi dunia termasuk
negara, mestinya cukup merujuk kepada Barat sekuler yang terkena kedhaliman
pihak gereja. Tidak usah merujuk kepada kondisi Islam yang akibatnya hanya
akan menuduh umat Islam, fiqh Islam, syari'at Islam dan bahkan Islam itu
sendiri. Hingga terseretlah oleh hawa nafsu tanpa dilandasi paradigma ilmu:
Islam disempitkan jadi al-din yang dia maknakan sebagai agama belaka alias
ritual/ ubudiah belaka. Ini namanya menabrak-nabrak, hanya untuk
menguat-nguatkan pendapatnya. Akibatnya justru menuduh sana-sini (unsur-unsur
dalam Islam) tanpa dalil yang pasti.
Dalam hal ini, Nurcholish Madjid di samping pemikirannya sederhana, masih
pula mengingkari realitas dan sejarah. Hingga Nurcholish menganggap,
"sudah jelas, bahwa fikih itu, meskipun telah ditangani oleh kaum
reformis, sudah kehilangan relevansinya dengan pola kehidupan zaman
sekarang."
Sangat disayangkan, realitas yang belum hilang sama sekali dalam kenyataan,
telah diingkari oleh Nurcholish Madjid. Teman sejawat Nurcholish Madjid dalam
hal keliberalan, atau istilahnya waktu itu "Islam kontekstual",
yaitu Pak Munawir Sjadzali --yang pernah dijuluki sebagai trio pembaruan
(Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan Munawir Sjadzali) di tahun
1985-1990-an--, Pak Munawir telah berpayah-payah membuat kompilasi hukum
Islam dari kitab-kitab fiqh Islam sekitar (26 kitab) dengan mengumpulkan para
rektor, dosen, dan para ulama se-Indonesia untuk membuat kompilasi hukum
Islam selama 2 tahun-an, dengan mengadakan studi banding ke berbagai tempat.
Ternyata kini upaya Menteri Agama Munawir Sjadzali MA itu diingkari
mentah-mentah oleh Nurcholish Madjid. Memang kompilasi hukum Islam itu hanya
mengenai hukum keluarga (ahwalus syahsyiyah) yaitu hukum waris, hibah,
sedekah, nikah , talak, dan rujuk. Namun pelaksanaan dalam pengadilan agama
yang telah disahkan lewat undang-undang peradilan agama, tetap merujuk kepada
hukum fiqh Islam.
Kenyataan yang masih ada di depan mata pun diingkari oleh Nurcholish Madjid.
Dan setelah mengadakan pengingkaran, lalu dia nyatakan:
Kutipan:
"Maka, hasilnya pun tidak perlu hanya merupakan hukum Islam, melainkan
hukum yang meliputi semua orang, untuk mengatur kehidupan bersama."
Tanggapan:
Ungkapan Nurcholish Madjid itu tidak usah manusia yang menjawab, tetapi kita
serahkan kepada Allah SWT yang telah berfirman:
"Apakah hukum
jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?" (Al-Maaidah/ 5: 50).
Agaknya pantas kita mengingat pepatah:
- Anak di pangkuan dilepaskan
- Beruk di hutan disusukan
Hukum Islam yang jelas dari Allah SWT, mau dia buang, sedang hukum rimba yang
belum ketahuan juntrungannya mau diterapkan. Ini secara akal sudah menyalahi
akal sehat. Sedang secara keyakinan sudah mengingkari hukum Allah SWT.
Sehingga keyakinannya terhadap Islam pun dipertanyakan.
Barang yang masih ada di depan mata pun diingkari. Ayat yang masih tertulis
di seluruh dunia pun diingkari. Dua hal ini saja sudah menjadikan lemahnya
bobot pemikiran itu. Maka pantas, dulu Pak Rasyidi menyebutnya, pemikirannya
itu berbahaya karena sederhana. Satu ungkapan yang perlu diresapi dengan
arif.
Itu belum tentang masalah orang Hindu, Budha, Sinto oleh Nurcholish Madjid
dimasukkan sebagai Ahli Kitab sebagaimana Yahudi dan Nasrani. Belum lagi
tentang musyrikat (wanita musyrik, menyekutukan Tuhan) hanya dia anggap
musyrikat Arab saja, bukan yang lainnya. Jadi arahnya ke mana?
|